Arsip Tag: mk

Gibran Dianggap Cawapres Cacat Hukum, TKN Prabowo-Ganjar: Tidak Hormati MK

Cawapres Cacat Hukum merujuk pada calon wakil presiden yang dianggap tidak memenuhi syarat secara hukum untuk mencalonkan diri. Syarat-syarat calon wakil presiden diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yaitu:

  • Warga negara Indonesia asli.
  • Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
  • Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih.
  • Tidak pernah diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatan ASN, TNI, atau Polri.
  • Tidak sedang dicabut hak pilihnya.
  • Tidak sedang memiliki jabatan lain yang dilarang oleh Undang-Undang.

Pada tahun 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal tersebut mengatur batas usia calon wakil presiden minimal 35 tahun. Dengan mengabulkan permohonan tersebut, MK membuka peluang bagi seseorang yang berusia di bawah 35 tahun untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden, asalkan telah pernah menjabat sebagai kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.

Menanggapi putusan MK tersebut, sejumlah pihak menilai bahwa putusan tersebut cawapres cacat hukum. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah karena putusan tersebut dilakukan oleh hakim MK yang telah terbukti melanggar etik berat. Hal ini karena Ketua MK, Anwar Usman, menikahi adik kandung dari Idayati, adik Presiden Joko Widodo.

Hamdan Zoelva, mantan ketua MK, berpendapat bahwa pernikahan tersebut menimbulkan konflik kepentingan dan berpotensi mempengaruhi putusan MK. Ia pun meminta agar putusan MK tersebut dibatalkan.

TKN Prabowo-Gibran, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diuntungkan oleh putusan MK tersebut, menegaskan bahwa putusan MK tersebut sah dan tidak dapat dibatalkan. Menurut TKN, pelanggaran etik yang dilakukan oleh Anwar Usman tidak terkait dengan putusan MK tersebut.

Terlepas dari berbagai polemik yang terjadi, putusan MK tersebut telah membuka peluang bagi seseorang yang berusia di bawah 35 tahun untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Jika putusan MK tersebut tidak dibatalkan, maka Gibran Rakabuming Raka, yang berusia 32 tahun, akan menjadi cawapres termuda dalam sejarah Indonesia.

Berikut adalah beberapa pendapat mengenai apakah Gibran cawapres cacat hukum:

  • Pendapat yang mendukung

Pendapat yang mendukung mengatakan bahwa Gibran cawapres cacat hukum karena ia telah memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Gibran telah berusia 32 tahun dan pernah menjabat sebagai Wali Kota Surakarta.

  • Pendapat yang menolak

Pendapat yang menolak mengatakan bahwa Gibran cawapres cacat hukum karena putusan MK yang mengabulkan permohonan uji materi Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu cacat hukum. Putusan tersebut dilakukan oleh hakim MK yang telah terbukti melanggar etik berat, sehingga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Terakhir, apakah Gibran cawapres cacat hukum merupakan persoalan hukum yang masih perlu dibuktikan di pengadilan. Jika putusan MK tersebut dibatalkan, maka Gibran akan menjadi cawapres cacat hukum. Namun, jika putusan MK tersebut tidak dibatalkan, maka Gibran akan menjadi cawapres sah.

Baca Juga : KPU Gelar Debat Capres Cawapres 5 Kali, Apa Temanya?

Tanggapan Dari Pihak-pihak Gibran Cawapres Cacat Hukum

Berikut adalah beberapa tanggapan dari pihak-pihak terkait mengenai anggapan bahwa Gibran cacat hukum sebagai cawapres:

TKN Prabowo-Gibran

Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran menegaskan bahwa putusan MK tersebut sah dan tidak dapat dibatalkan. Menurut TKN, pelanggaran etik yang dilakukan oleh Anwar Usman tidak terkait dengan putusan MK tersebut.

“Pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua MK tidak terkait dengan putusan MK yang sudah inkracht,” kata Wasekjen TKN, Ahmad Rofiq, dalam keterangan tertulisnya, Senin (11/7/2023).

Hamdan Zoelva

Hamdan Zoelva, mantan ketua MK, berpendapat bahwa putusan MK tersebut cacat hukum karena dilakukan oleh hakim MK yang telah terbukti melanggar etik berat. Hal ini karena Ketua MK, Anwar Usman, menikahi adik kandung dari Idayati, adik Presiden Joko Widodo.

Hamdan Zoelva berpendapat bahwa pernikahan tersebut menimbulkan konflik kepentingan dan berpotensi mempengaruhi putusan MK. Ia pun meminta agar putusan MK tersebut dibatalkan.

Muhammad Qodari

Muhammad Qodari, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Politik Indonesia (LKP-Indonesia), mengatakan bahwa putusan MK tersebut memang membuka peluang bagi Gibran untuk menjadi cawapres. Namun, ia menilai bahwa putusan tersebut juga menimbulkan polemik yang berpotensi menghambat pencalonan Gibran.

“Putusan MK tersebut memang membuka peluang bagi Gibran, tetapi juga menimbulkan polemik yang berpotensi menghambat pencalonannya,” kata Qodari.

Peneliti LIPI

Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, Wasisto Raharjo Jati, mengatakan bahwa putusan MK tersebut tidak memiliki konsekuensi hukum yang langsung terhadap pencalonan Gibran. Namun, ia menilai bahwa putusan tersebut berpotensi menimbulkan pertanyaan publik mengenai independensi MK.

“Putusan MK tersebut tidak memiliki konsekuensi hukum yang langsung terhadap pencalonan Gibran, tetapi berpotensi menimbulkan pertanyaan publik mengenai independensi MK,” kata Jati.

Seperti yang telah disebutkan oleh Gibran, putusan MK tersebut sudah inkracht dan sesuai dengan konstitusi. Oleh karena itu, putusan tersebut tidak dapat dibatalkan. Namun, putusan tersebut juga menimbulkan polemik yang berpotensi menghambat pencalonan Gibran.

MK: Presiden Dua Periode Tidak Bisa Menjadi Wakil Presiden

Calonpresiden2024, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) telah memastikan bahwa seseorang yang telah menjabat sebagai presiden selama dua periode tidak dapat mencalonkan diri sebagai wakil presiden (cawapres).

Hal itu tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan permohonan yang diajukan Ketua Umum Partai Perkarya Mochdi Puroprangono (mantan partai) dan Sekjen Partai Perkarya Fauzan Rahmanesya yang berharap Mahkamah Konstitusi mengizinkan Presiden menjabat dua orang. syarat sebagai calon Wakil Presiden (cawapres).

Kedua pimpinan partai Berkaria itu sebelumnya mengajukan uji materi Pasal 169 huruf N dan Pasal 227 huruf 1 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan anggota Knesset. Mochdi Berro dan Fouzan Rahmansih berharap Mahkamah Konstitusi mengizinkan seseorang yang pernah menjabat sebagai presiden dua periode untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden.

Pemohon menilai ketentuan dalam kedua pasal tersebut dapat dikatakan sebagai standar baru yang menerjemahkan Pasal 7 UUD 1945. Padahal, konsekuensi logis yang muncul antara Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu berbeda. dari Pasal 7 UUD 1945. Lihat Partai Perkaria juga mencatat bahwa Pasal 7 UUD 1945 tidak secara tegas membatasi hak presiden dan wakil presiden terpilih untuk mencalonkan diri lagi.

Tanggapan terhadap pe7 UUD 1945

“Pasal tersebut merupakan aturan yang dimaksudkan untuk menjaga esensi aturan Pasal 7 UUD 1919. Mahkamah memutuskan untuk menolaknya sama sekali.” Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya, kata Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Othman dalam sidang, Selasa (31/1). Mahkamah Konstitusi menilai Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf n UU Pilkada sejalan dengan Pasal 45. Bahkan, secara khusus penjelasan Pasal 169 huruf n UU 7/2017 juga menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “belum menjabat dua masa jabatan dalam jabatan yang sama” adalah bahwa Yang bersangkutan tidak pernah memangku jabatan dengan dua periode berturut-turut dan tidak berturut-turut, meskipun masa jabatannya kurang dari 5 tahun juga merupakan penegasan Pasal 7 UU No. UUD 1945,” ujar MK Saldi Israa saat membacakan pertimbangannya.

Di luar itu, ketentuan tersebut harus dipedomani dan dilaksanakan oleh KPU. “Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 merupakan pedoman yang harus diikuti oleh penyelenggara pemilu dalam menilai pemenuhan syarat menjadi presiden dan wakil presiden. Selain itu, kedua kriteria tersebut bertujuan untuk menjaga konsistensi dan menghindari prasangka,” ujar Seldi Esraa, sesuai aturan Pasal 7 UUD 1945.

Proposal untuk mempromosikan presiden dua periode ke Kwaps telah muncul sebelumnya dan diajukan oleh sejumlah kelompok. Pidato ini bermula dari pernyataan juru bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksuno Suroso. Saat ditanya pendapat wartawan, Fajr mengatakan tidak ada larangan konstitusional bagi seorang presiden yang sudah dua periode menjabat menjadi wakil presiden.

Sontak, pernyataan ini mendapat perhatian dan ramai dibicarakan publik. Ada yang setuju dengan pendapat dan wacana tersebut. Namun, ada juga yang menolaknya. Masing-masing dari dua kutub yang berseberangan ini memiliki acuan konstitusional dalam menyampaikan pendapatnya. Dengan kata lain, mereka mendasarkan pendapatnya pada aturan ketatanegaraan sehingga keduanya tampak konstitusional dan legal.

Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Bambang Worianto atau Bambang Pakol, mengatakan Jokowi bisa menjadi wakil presiden pada 2024. “Kalau Pak Jokowi mau jadi wakil presiden ya bisa, kata Pacul dalam rapatnya di Gedung DRC, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (13/9/2022) syarat itu harus diajukan oleh parpol atau gabungan parpol. Menurut Pacul, tidak ada aturan yang menghalangi Jokowi dari mencalonkan diri sebagai piala, dengan demikian masa jabatan Jokowi sebagai presiden akan berakhir pada 2024.

Sementara itu, Presiden Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Hashim Asiari menilai secara logika ada masalah konstitusional terkait pidato tersebut. “Hati-hati dengan Bagian 7 dan 8 Konstitusi,” kata Hashim, “Ini semacam jebakan Batman. Saya pikir dia (Presiden periode kedua Kuiper) bisa, meskipun dia tidak bisa.”

Baca Juga : Komentar Presiden Jokowi Bahas Capres 2024 Berambut Putih

Menurut Hasim, Pasal 8 UUD 1945 mengatur kemungkinan wakil presiden menjadi presiden dengan syarat tertentu. “Jika presiden meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau menjadi tidak dapat menjalankan kewajibannya selama masa jabatannya, wakil presiden akan menggantikannya sampai akhir masa jabatannya,” bunyi pasal tersebut. “Dalam hal seseorang telah menjabat sebagai presiden

Dalam situasi tersebut, A tidak memenuhi syarat sebagai presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 169 huruf n Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,” ujar Hasyim menjelaskan.

Sementara itu, pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menjelaskan, Undang-Undang Dasar 1945 secara tersirat melarang presiden yang sudah menjabat dua periode mencalonkan diri sebagai wakil presiden. “Pada dasarnya secara tersirat konstitusi melarang seseorang presiden mencalonkan diri sebagai wakil presiden,” kata Feri.

Ia mengatakan UUD memang tak mengatur secara gamblang bahwa presiden yang sudah menjabat dua periode dilarang mencalonkan diri sebagai wapres. Pasal 7 UUD hanya menyebutkan, presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Namun, kata Feri, konstitusi mengamanatkan bahwa jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 8.

Berangkat dari Pasal 7 dan Pasal 8 itu, maka, presiden yang sudah pernah menjabat dua periode tidak boleh menjadi wakil presiden. “Di titik ini tentu jadi masalah serius karena begitu presiden mangkat, lalu presidennya yang telah dua periode secara konstitusional dia akan otomatis melanggar pembatasan masa jabatan,” ucap Fery.

Fery mengatakan, pasal-pasal dalam konstitusi saling berkaitan. Oleh karenanya, Pasal 7 UUD tidak bisa dibaca sendiri tanpa mengaitkan dengan pasal-pasal lainnya. “Pasal-pasal di konstitusi saling terkait. Membacanya tidak bisa hanya letterlijk (harfiah), tapi juga maknanya,” ujarnya. Tak hanya melanggar konstitusi, menurut Feri, tradisi ketatanegaraan akan rusak jika orang yang sudah menjabat sebagai presiden dua periode lantas menjadi wapres. “Jadi tidak elok, kemudian dirusak tradisi ini jika kemudian seorang presiden mencalonkan diri menjadi calon wakil presiden,” kata dia. (Calonpresiden2024.com/ kennylikerdi)